Benarkah Outbound "Hight Impact" merupakan Terapi untuk kejiwaan?

Benarkah Outbound "Hight Impact" merupakan Terapi untuk kejiwaan?

Apakah anak berkebutuhan khusus pada kegiatan outbound dapat meyimak dengan baik dari pada aktivitas sebelumnya? Misalnya saja anak penyandang autisme. mereka itu mempunyai masalah dalam otaknya "adanya kekacauan dalam otak".

Latar Belakang

Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku dan bahasa daerah yang memiliki ciri khas tersendiri. Walaupun demikian, masyarakat Indonesia tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan bahasa perhubungan atau pergaulan dan sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran di sekolah dalam berkomunikasi dengan sesama.

Sebagai makhluk sosial manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi lisan maupun tulisan. Semua itu tidak terlepas dengan empat keterampilan berbahasa, yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Setiap keterampilan itu erat hubungannya dengan proses berpikir yang mendasari bahasa. Oleh karena itu, keempat keterampilan berbahasa itu merupakan satu kesatuan yang saling menunjang.

Ketika manusia lahir ke dunia sudah dilengkapi dengan alat artikulasi dan pelajaran pertama yang didapat dari seorang ibu adalah bahasa. Setiap anak yang lahir dengan alat artikulasi dan auditori normal akan dapat mendengarkan katakata dan menirukan dengan baik. Bagi anak yang mempunyai kelainan pada alat artikulasi dan auditorinya akan mengalami kesulitan dalam berbahasa. Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa baik produktif maupun reseptif (Chaer, 2003: 148).

Setiap anak membutuhkan bimbingan berkomunikasi, dan dukungan lebih dari orangtua dan lingkungan sosialnya. Dengan begitu mereka akan tumbuh dan berkembang secara alami. Karena dalam mengajarkan bahasa dalam berkomunikasi pada anak bukan cuma sekedar mengajar kata, melainkan diperoleh melalui proses menyimak makna setiap kata secara alami. Proses menyimak itu dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat penutur bahasa.

Bahasa dapat menjembatani antara anak dengan orangtua dan anak dengan lingkungan sosial. Dunia anak sering kita sebut masanya bermain. Bermain merupakan suatu proses belajar sehingga mereka dapat merasa-kan gembira, sedih, senang, dan merasakan kenyamanan serta belajar bersosialisasi dengan teman-temannya. Oleh karena itu, setiap mereka bermain di situlah anak belajar berkomunikasi untuk menyatakan keingin-an, pendapat, dan gagasannya secara alami.

Begitu pula bagi anak-anak penyandang autisme. Mereka termasuk ke dalam anak berkebutuhan khusus atau special need. Berdasarkan per-aturan yang ditetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai hak dan kewajiban warga negara pada pasal 5 menyatakan bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Oleh karena itu anak penyandang autisme pun membutuhkan hal yang sama dengan anak-anak normal lain-nya. Salah satunya yaitu jenjang pendidikan.

Anak berkebutuhan khusus ini persis anak-anak lainnya, hanya saja mereka memiliki keterbatasan kemampuan dalam hal belajar dan berko-munikasi. Khususnya anak penyandang autisme, mereka memerlukan be-lajar yang relatif lama dalam berkomunikasi, pola perilaku, dan interaksi sosial serta untuk mampu mengerti diri mereka sendiri dan berusaha me-respon instruksi guru. Mereka juga membutuh kasih sayang, motivasi dan pengakuan dari sekitar. Oleh karena itu, perlu penanganan khusus pada tahap perkembangannya agar dapat menjalani kehidupan layaknya anak-anak lain. Seperti halnya anak penyandang autisme di Sekolah Alam, mereka masuk dalam kelompok anak berkebutuhan khusus (special need).

Sekolah Alam memberikan kegiatan pembelajaran yang menantang bagi siswanya. Salah satunya adalah outbound. Kegiatan outbound ini se-bagian besar aktivitasnya merupakan aktivitas fisik dapat disebut juga permainan yang bersifat petualangan. Kegiatan outbound ini, ternyata yang paling digemari oleh anak-anak Sekolah Alam. Kegiatan outbound juga tidak hanya disuguhi untuk anak-anak regular (TK, SD) saja, tetapi anak berkebutuhan khusus pun ikut merasakan kegiatan itu.

Metode yang digunakan dalam outbound ini adalah belajar melalui pengalaman (exsperiental learning). Adrianus dan Yufiarti (2006: 42), mengatakan Pada dasarnya kegiatan ini menganut prinsip learning by doingtrial and refinement (belajar sambil mengulang-ulang dan berusaha untuk memperbaiki) serta lifelong learning. (belajar sambil melakuakan sesuatu), (belajar sepanjang hayat)

Proses belajar dengan outbound pada anak berkebutuhan khusus disesuaikan dengan kurikulum outbound di Sekolah Alam Tanah Baru. Proses belajar dengan outbound dilaksanakan setiap seminggu satu kali. Walaupun outboundnya sudah ditentukan, tetapi dalam pelaksanaan kegiatan belajar dengan outbound pada anak berkebutuhan khusus dise-suaikan dengan tingkat kesulitan dan resiko pada masing-masing individu. Hal itu diungkapkan pula oleh Greatline sebuah lembaga outbound training, dan adventur (http://glindonesia.blogsome.com/ yang direkam pada 13 Okt 2007 10:07:43 GMT), memaparkan bahwa outbound jika dilihat berdasarkan tingkat resiko, permainan outbound dibagi tiga yaitu: Risiko rendah (Low Impact), Risiko sedang (middle impact), dan resiko tinggi (High Impact).

Mereka dapat belajar secara alami dan bersosialisasi dengan lingkungannya di kegiatan outbound. Menurut Ardianus dan Yufiarti (2006: 44) ”outbound sebagai permainan kecerdasan.” Oleh karena itu, berbagai manfaat didapat mereka dalam proses belajar mengajar dengan kegiatan outbound. Seperti halnya outbound sebagai sarana untuk melatih dalam mengembangkan fungsi mata, telinga, dan latihan otot. Anak penyandang autis dapat melatih memfokuskan diri dalam memecahkan masalah saat kegiatan berlangsung. Kegiatan itu juga dapat menimbulkan rasa percaya diri pada anak. Adrianus dan Yufiarti mengatakan:

Metode outbound ini sangat efektif karena memanfaatkan seluruh potensi dalam diri siswa melalui berbagai aktivitas permainan. Dengan demikian kegiatan outbound ini tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa, tetapi juga melibatkan ranah afektif dan konasi (psikomotor) (2006: 42).



Outbound memberikan pengaruh dalam pengembangan kreativitas anak penyandang autisme dalam menentukan keputusan yang akan diambil. Misalnya pada anak penyandang autisme menjadi lebih konsentrasi dalam mendengarkan setiap instruksi yang diberikan oleh guru dan fasilitator dalam setiap outbound. Walaupun, dalam jangka waktu yang relatif lama dalam merespon semua rangsangan. Selain itu Ancok memperjelas lagi dalam bukunya Outbound Management Training (2003: 3), bahwa metode pelatihan di alam terbuka juga digunakan untuk kepentingan tera-pi kejiwaan (Gass, Adventure Therapy, 1993). Lanjutnya lagi pelatihan ini digunakan untuk meningkatkan konsep diri anak-anak yang nakal, anak pencandu narkotika, dan kesulitan di dalam hubungan sosial.

Aktifitas outbound juga dapat menjaga otak agar terus bergerak dalam melaksa- nakan kegiatan. Adrianus dan Yufiarti (2006: 44) mengatakan bahwa ”selain itu outbound terdapat, unsur-unsur pengembangan kreativitas, komunikasi, mendengarkan efektif, kerjasama, motivasi diri, kompetisi, problem solving dan percaya diri.” Oleh karena itu, perlu diada-kan penelitian mengenai pengaruh outbound terhadap kemampuan menyimak dalam mematuhi aturan pada anak penyandang autis.

Para pendidik di Sekolah Alam Bogor khususnya kelompok anak berkebutuhan khusus atau disebut Learning Support Center terdiri dari guru kelas, dan guru pendamping atau sering disebut dengan aide teacher’s. Khusus Level A setiap anak mempunyai satu aide teacher dan satu guru kelas. Keadaan akan berbeda saat kegiatan outbound berlangsung terdiri dari guru kelas, aide teacher’s, dan instruktur outbound. Ketika outbound guru, aide teacher, dan instruktur dalam kegiatan outbound sangat ber-peran sebagai mitra memotivator siswa. Oleh karena itu, mereka semua memainkan peranannya dalam hal memotivasi anak penyandang autisme.

Guru kelas, aide teacher’s, dan instruktur outbound masing-masing sudah memiliki kompetensi di bidangnya. Seperti halnya instruktur outbound memiliki kompetensi yang sudah disesuaikan dengan tugasnya. Begitu juga dengan guru kelas dan aide teacher’s minimal sudah mengikuti pelatihan mengenai pelaksanaan outbound di Sekolah Alam. Seperti yang dikatakan oleh Adrianus dan Yufiarti dalam jurnalnya mengenai kompetensi guru:

Kompetensi guru yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan outbound antara lain pernah mengikuti kegiatan pramuka dan pencinta alam, memiliki pengetahuan tentang olah raga, diharapkan pernah mengikuti pelatihan outbound. Selain itu guru diharapkan dapat me-rancang kegiatan dan memanfaatkan lingkungan sosial dan alam sekitar (Adrianus dan Yufiarti, 2006: 43).



Sehubungan penjelasan di atas peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kemampuan menyimak dalam mematuhi ins-truksi guru pada anak berkebutuhan khusus autisme level A Learning Support Center (LSC) Sekolah Alam Tanah Baru Bogor.

Penelitian dengan judul ”Kemampuan Menyimak dalam Mematuhi Instruksi Guru pada Kegiatan Outbound Anak Berkebutuhan Khusus Autisme Level A Learning Support Center (LSC) Sekolah Alam Tanah Baru Bogor”, diharapkan dapat menunjukkan hasil yang positif bagi perkembangan motorik pada anak penyandang autisme. Untuk itu diperlukan adanya latihan terhadap sensorik motor. Salah satu latihannya, yaitu berupa kegiatan belajar mengajar dengan outbound

0 komentar:

Posting Komentar

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author